Menyelami Spiritualitas: Factum tentang Tuhan, Manusia, dan Cinta

Rp 85.000

Kategori:

Deskripsi

Judul Buku: Menyelami Spiritualitas: Factum tentang Tuhan, Manusia, dan Cinta

Penulis: Munawir Haris; Editor: Ahmad Jauhari Cetakan: 1, 2020
vi+ 112 hlm; 15 x 23 cm
04-jivaloka-publishing
ISBN: 978-623-92850-3-6 (Cetak)
ISBN: 978-623-95333-6-6 (Digital)
Harga: Rp. 85.000,-

SINOPSIS

Manusia, dalam diskursus filsafat, dilihat sebagai entitas fisik dan jiwa, yang tidak terpisahkan. Filsafat semula bicara realitas immanen. Namun, sejak muncul sosok Socrates, problem filsafat bergeser ke diskursus perihal manusia. Penyelidikan itu bermula dari pertanyaan, “siapakah aku?” Mengenal jati diri manusia adalah tujuan filsafat Socrates. Tanpa mengenal diri, manusia sebagai subjek, kesulitan menentukan makna kehidupannya. Pengenalan itu diungkapkan Socrates melalui diktum “know your self (ketahuilah dirimu).” Diktum Socrates, dimungkinkan menyebar di kawasan Jazirah Arab, di mana semangatnya ditemukan dalam hadits nabi, man `arafa nafsahu faqad arafa rabbahu (barang siapa mengenali dirinya, akan mengenali Tuhannya).
Satu ciri berpikir filsafat adalah radikal, tidak berhenti pada fakta. Artinya, manusia oleh sebab akal dan pikirannya, senantiasa mempertanyakan dasar segala hal, termasuk keberadaan dirinya di dunia. Keunikan ini inhern di dalam diri manusia. Maka, setiap manusia pada dasarnya punya bakat berfilsafat. Diktum Socrates mengajak untuk mengenali diri manusia lebih mendalam, apa sejatinya diri manusia? Pernyataan Socrates menegaskan, manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Kemuliaan manusia dinilai sejauh manusia hidup menjunjung tinggi akal budinya. Apa yang dimaksud dengan prinsip akal budi? Akal budi yang dimaksud Socrates adalah berpikir tentang keutamaan atau kesempurnaan. Diktum Socrates mengajarkan manusia hidup dalam kemuliaan.
Hadist nabi tersebut, merupakan upaya mengenalkan manusia akan dirinya, sebagai perantara pengenalan kepada Allah. Manusia adalah makhluk jasmani dan rohani. Jasmani maupun rohaninya, tidak terpisahkan. Rohani merupakan wilayah substansial, lebih dalam, dunia yang sejati. Sedangkan jasmani wilayah materi, dunia yang sementara dan bukan kehidupan yang sejati. Dunia rohani adalah dunia hidup manusia yang disinari oleh sisi ketuhanan. Kehidupan rohani justru diabaikan sebagian besar manusia, karena lebih terpikat gemerlap jasmani dan materi. Dalam konteks ini hadist nabi menemukan relevansinya. Pengenalan manusia terhadap dirinya yang dimaksud ialah jangan sampai manusia melupakan relung rohani, yang menjadi dasar dari kemuliaan manusia.
Kehidupan modern, dengan perkembangan iptek dan sains modern, memanjakan hidup manusia. Kemajuan sains, menjadikan urusan manusia, lebih mudah, dan serba cepat. Kendati demikian, kehidupan modern tidak menjamin kebahagiaan manusia. Kehidupan modern melahirkan patologi sosial, di antaranya, manusia kehilangan nilai sakral, sehingga berbuat sesukanya, kehilangan pertimbangan moral dan spritual, terbukti kian merebaknya kejahatan dan lain sebagainya. Gejala ini, sekurang-kurangnya memperlihatkan orientasi manusia, telah dipersempit pada aspek jasmani atau fisik. Dalam hal ini, kehidupan modern berikut capaian sains dan iptek canggih, justru memfasilitasi pemenuhan kebutuhan jasmani. Di tengah kondisi yang serba mendesak, manusia modern membutuhkan perspektif ruhani, untuk menyeimbangkan kebutuhan dasariahnya. Sejauh ini aspek materalisme jasmani mendapatkan porsi tidak wajar.
Bagaimana dengan buku ini? Di bawah judul Menyelami Dunia Spiritualitas: Factum Perihal Manusia, Tuhan, dan Cinta ditulis sebagai bahan penyeimbang takaran rohani manusia. Buku ini dimaksudkan untuk mengaktifkan kembali tema-tema spritual, utamanya berkaitan dengan realitas ketuhanan dan kemuliaan manusia. Memang perlu diakui, problem tersebut sudah menjadi klasik. Bahkan, di awal paragraf, Socrates telah menginisiasi perenungan mendalam dengan diktum kenalilah dirimu. Kehidupan sejati manusia menurut Socrates terletak pada sisi spiritualnya atau pada ruhnya, sebagai sumber kemuliaan dan keutamaan manusia. Isu klasik bukan berarti meaningless. Buku ini menemukan relevansinya di saat kehidupan modern, tengah melupakan sisi rohaninya.[]